Minggu, 10 November 2013

POLITIK MK !

POLITIK MK 
APA YANG TERJADI PADA NEGARA KITA??!!

Di Negara Indonesia terdapat banyak politik'' yang besar ..tetapi apa yang terjadi di NEGARA KITA?khususnya negara yang kita tempati?.Kita adlah salah satu bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia,apa yang tidak kita ketahui?.apakah alasannya?apa sengaja ditutupi?...

Berikut sejarah MK.
Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden. Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 orang oleh Mahkamah Agung, 3 orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 orang oleh Presiden. Masa jabatan Hakim Konstitusi adalah 5 tahun, dan dapat dipilih kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya.
Hakim Konstitusi periode 2008-2013 adalah:[1]
  1. Mohammad Mahfud MD (Ketua)
  2. Harjono (2009-), menggantikan Jimly Asshiddiqie (2008-2009)
  3. Maria Farida Indrati
  4. Ahmad Fadlil Sumadi (2009-), menggantikan Maruarar Siahaan (2008-2009)
  5. Hamdan Zoelva (2009-), menggantikan Abdul Mukthie Fajar (2008-2009)
  6. Muhammad Alim
  7. Achmad Sodiki
  8. Anwar Usman (2011-), menggantikan Muhammad Arsyad Sanusi (2008-2011)
  9. Muhammad Akil Mochtar
Pada akhir 2009, Maruarar Siahaan dan Abdul Mukthie Fajar memasuki masa pensiun. Mereka kemudian digantikan oleh 2 hakim baru, yakni Hamdan Zoelva yang menggantikan Abdul Mukthie Fajar danFadlil Sumadi yang menggantikan Maruarar Siahaan.

Politik Pelemahan MK ??



          Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2013 tentang Perubahan ,Kedua UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dapat dimaknai sebagai wujud politik hukum pemerintah untuk melemahkan MK.Dengan kata lain, pemerintah menggunakan tangan KY untuk ikut campur masuk ke jantung “pengawasan” perilaku dan kehormatan hakim konstitusi. Di sinilah titik krusial yang pastinya ditolak oleh MK, baik secara terang-terangan maupun secara halus,Seperti diutarakan Harjono, pengertian substansi ‘pengawasan’ berbeda dengan ‘menjaga kehormatan dan perilaku hakim’ sebagaimana ditentukan Perppu. Yang terjadi seolah ada persepsi bahwa KY berwenang mengawasi MK.Peran KY mengawasi kode etik dan perilaku hakim konstitusi memang aneh. KY ini sebenarnya siapa, kok, demikian hebat bisa mengawasi perilaku hakim konstitusi? Sehingga secara tersirat kedudukan komisioner KY lebih tinggi atau lebih berkuasa ketimbang hakim konstitusi.
Padahal, hakim konstitusi itu pengawal atau penjaga konstitusi (the guardian of the constitution). Hakim konstitusi, gitu, loh. Sesudah konstitusi itu sendiri, ya, hakim konstitusi-lah yang berwenang menerjemahkan/menafsirkan konstitusi. Nah, ketika kebebasan hakim konstitusi demikian dibatasi karena perilakunya dikontrol oleh KY, maka kekuasaan hakim konstitusi potensial terdistorsi sedemikian rupa.
Toh, dalam negara demokrasi yang menjamin kebebasan berserikat dan kemerdekaan pers, tidak ada satu pun lembaga negara yang bebas lepas tanpa pengawasan. Begitu pula halnya dengan MK. Perilaku dan kode etik hakim konstitusi diawasi oleh mekanisme penegakan kode etik di internal MK, selain diawasi oleh pers, dan LSM. Terbukti saat ini.Ketika Ketua MK Akil Mochtar ditangkap tangan KPK atas sangkaan korupsi (suap) maka seketika Majelis Kehormatan Konstitusi (MKK) dibentuk dan bersidang untuk mengadili dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim Akil Mochtar. Hasilnya, Akil Mochtar dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran berat kode etik dan diberhentikan secara tidak hormat.
Artinya, mekanisme penegakan kode etik di internal MK telah berjalan walaupun prosesnya dikritik banyak pihak. Tidak perlu lagi ada lembaga negara lain, apalagi pemerintah, termasuk KY, ikut mengocok-ngocok penegakan kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Mubasir, membuat bias, dan amat sangat mencurigakan sebagai politik hukum pelemahan MK.
Kalau pun hendak memperketat kontrol kode etik dan perilaku hakim konstitusi tidak dengan memakai tangan pemerintah melalui produk hukum Perppu. Melainkan melalui jalur legislative review di DPR RI, jalur biasa, yakni dengan mengubah ketentuan UU No 24 Tahun 2003 tentang MK. Biar rakyat melalui wakilnya yang memutuskan. Bukan pemerintah seperti saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar